PROLOG
Apabila seorang gadis cantik muncul pada lewat malam, dan bercerita - dirinya mati dibunuh - tentulah sangat mengejutkan.
Di ruang pejabat, lagu 'Killing Me Softly With His Song' sedang bergema. Nyanyian Roberta Flack mendayu-dayu; apa lagi saat suaranya bergesel dengan bunyi angin yang menyusup masuk dari jendela terbuka.
Kami terdiam seketika; menikmati lagu terbaik ciptaan Charles Fox dan lirik Norman Gimbel. Walaupun hampir setengah abad dirakamkan - lagu ini masih punya magis; menyihir ruang kesunyian manusia.
Menyedari gadis misteri itu (aku takkan menyebutnya hantu) masih tercegat berdiri; segera kupelawa duduk. Angin sejuk dari luar jendela menderu lagi - menyeka rambut panjangnya. Dia mengenakan sehelai jaket hitam; menutupi blaus labuhnya yang juga berwarna hitam.
Malam itu, aku tidak dapat menyediakan apa-apa kerana dia tamu tidak dijangka. Jadi, yang ada hanya dua cawan kopi. Kami berbual pada jarak yang dipisahkan meja kerja.
Gadis itu - tanpa mengenalkan nama - bercerita kisah masa lalu - perjalanan hidupnya yang menyedihkan. Perasaan sedih itulah yang melenyapkan seluruh rasa takut. Malah, mencipta pesona dan aku mendengarnya dengan tekun.
"Aku sunyi," katanya: "Aku yakin kamu juga kesunyian. Jadi, aku datang dan berharap tidak mengganggu kamu."
"Oh... tidak sama sekali. Aku hanya duduk bermenung-menung sendirian. Di luar sana jerebu, jadi lebih selesa berkurung di pejabat saja."
"Sampai malam-malam begini?"
Aku hanya tersenyum - tidak pasti apa yang harus dijawab.
"Iya... di pejabat lebih selesa. Duduk sendirian dan melihat-lihat di luar sana," jawabku setelah beberapa detik terdiam.
Gadis itu tersenyum: "Aku suka sekali muzik yang kamu dengar. Walaupun hiba tapi terasa menyenangkan...."
"Oh ya... tapi kamu siapa?" Tanyaku.
Gadis itu tersenyum lagi - cuma kali ini matanya memudar. Dia menarik nafas panjang dan jelas terlihat dadanya mengembang.
Sekarang aku hanya terpegun. Bau haruman lavender tiba-tiba mengisi ruang pejabat.
"Aku dibunuh malam Jumaat," cerita gadis itu: "Kerana kematianku sangat misteri, aku menjelma sebagai hantu...."
1
Sejak ketemu gadis itu, aku nekad pulang lewat setiap malam Jumaat. Selepas pertama kali ketemu, dia berjanji akan datang lagi.
"Cuma, hanya malam Jumaat ya," katanya: "Di pejabat saja. Kalau di luar, aku bimbang diintip orang."
"Kamu kan hantu?" Tanyaku: "Mustahil diintip orang?"
Gadis itu tersenyum. Aku melihat matanya yang bercahaya; mengilau bagai kolam biru, nun jauh di hutan sana. Rambutnya sedikit terselak dan mengurai antara pipi dan bahu setiap kali diseka angin yang menerobos jendela.
Angin turut menyemarakkan bau lavender; barangkali itu bau tubuh atau harum rambutnya. Aku kurang pasti - tapi, bau itu terasa sangat mempesonakan.
Sejak tengah malam selepas ketemu gadis misteri itu - aku ini jadi orang yang selalu kerinduan. Perasaan jadi lugu dan jiwa terasa terayun-ayun. Kalau dulu muzik yang kudengar hanya menyegarkan rasa, kini iramanya yang indah menyebabkan jari-jariku berketik di meja. Atau, membuatkan aku turut menyanyi; mengalun perlahan-lahan melodinya.
Tapi itu semua hanyalah rasa hati yang membuai. Selebihnya aku sangat rindu. Aneh kan... aku rindukan hantu yang baru kukenal. Tapi itulah kebenarannya. Gadis itu kini selalu hidup dalam ingatanku.
2
Aku pernah punya seorang kekasih. Kisah masa lalu sebelum bertemu gadis misteri malam Jumaat.
Hmmm... kekasihku - gadis yang sudah dua tahun kukenal dan selalu kubawa pacaran makan malam. Atau duduk berdua-duaan di kerusi depan mall sambil melihat pancuran air.
Dua tahun itu juga waktu terasa sangat perlahan. Hubungan kami sedikit jaz; ibarat sela-seli jeritan trumpet dan saksofon. Namun, semuanya masih terisi dengan momen-momen kehangatan. Meski pun perjalanan hubungan cinta yang kami lalui ibarat nota muzik yang rendah dan berentak perlahan.
"Kita berkawan atau bercinta?" Tanya kekasihku.
Aku menjawab mudah: "Kalau sekadar kawan, apakah tidak wajar kita keluar makan malam?"
Dia memandang aneh padaku. Tempiasan pancuran air yang diwarnai kilauan lampu-lampu terasa menyegarkan muka. Aku duduk dekat padanya. Cuma seperti selalu - kami tidak bersentuhan.
"Kalau bercinta, kita juga akan keluar makan malam, bukan?" Dia kembali bertanya.
Aku mengangguk: "Iya... cuma hubungan kita tidak fenomenal. Aku tidak menyentuhmu. Aku tidak menciummu. Malah, kita tidak berminat pun untuk bercumbu. Apa lagi tidur seranjang."
Dia hanya tersenyum: "Kita punya peraturan...."
"Bukan peraturan pun. Kita tak pernah berjanji apa-apa. Ia terjadi begitu saja sejak kita kenal. Kita percaya, bercinta sudah memadai dengan hanya makan malam dan duduk-duduk berduaan begini."
"Hahaha...," kekasihku ketawa lembut: "Selama dua tahun ini, hubungan kita ibarat lagu jaz tanpa korus; mendatar saja. Tapi tak mengapa... sebab rasanya kita bahagia bukan?"
Aku tersenyum. Renik-renik halus tempiasan air pancuran menyimbah lagi ke wajahku dan bias cahaya lampu terasa menyilaukan mata. Detik waktu bagai terbius - aku jadi tenggelam tiba-tiba saat menikmati bau parfum yang dipakainya.
Haruman lavender yang terhidu dalam wap sejuk udara malam, terasa sangat indah. Ya... itulah cinta - dan kurasakan keajaibannya.
"Nanti, kalau aku pulang kamu hantarkan ya...," pintanya.
Aku tersenyum; memandang sambil menganggukkan kepala.
"Sayang sekali, kita harus pulang berkereta. Aku lebih suka mengendongmu sampai ke rumah," jawabku.
Kami ketawa.
"Tak mungkinlah," katanya: "Lebih dua tahun kita ketemu.. kamu tak pernah menyentuh walau hujung jariku. Aku pula, hanya mampu melihat rambutmu. Walaupun aku ingin sekali menyentuhnya tiap kali diserabuti angin. Cuma, tidak mungkinlah. Kita sudah begini adanya."
"Iyalah...," jawabku dan aku memang mahu tersenyum.
Aku sangat berharap dia berpaling dan melihat senyumanku waktu itu. Cuma matanya... matanya masih pada silauan lampu-lampu yang kerap bertukar warna. Matanya lebih terpana pada panorama pancuran air di depan sana.
Waktu itu, walaupun selama dua tahun yang sangat jaz muziknya, aku yakin - dialah kekasihku.
3
Khamis petang datang lagi. Seisi pejabat sudah sepi. Seperti selalu selepas jam 6 petang - lampu dipadamkan. Aku masih di bilik; bekerja meneliti beberapa helai dokumen. Namun, fikiranku tidak menyelinap ke situ.
Mataku hanya memerhatikan muka pintu di luar sana. Seluruh ruangan pejabat di luar bilikku sudah gelap dan hanya sebutir lampu kecil menyala malap di depan pintu lif.
Aku ternanti-nantikan kedatangan gadis misteri itu. Walaupun belum jam 7 malam. Hatiku separuh berdoa dan sangat berharap - kalau nantinya gadis itu muncul - dia akan datang dari arah lobi lif.
Aku berharap dia berjalan dengan tenang ketika masuk ke pejabat dan terus melangkah ke bilikku. Sebaik saja di melepasi pintu, aku akan segera mempelawanya duduk.
Sebelum berpisah pada dini hari Jumaat lalu, aku sempat berpesan dan dia tersenyum ketika mendengar permintaanku.
"Kamu kalau datang lagi malam Jumaat nanti, jangan lagi muncul terapung-apung di luar cermin jendela. Aku jadi ketakutan," kataku sebelum gadis itu pergi.
Dia hanya tersenyum. Aku menemaninya menuruni lif dan kami melangkah beriringan di pedestrian yang sunyi.
"Sudah 3 pagi," katanya: "Kamu akan kelewatan kerja esok hari."
Aku tersenyum dan tiba-tiba kehilangan kata-kata. Mataku lurus memandang ke hujung laluan; melihat pada lampu jalan yang suram. Ketika ketemu jawapan, aku pun berpaling.
Cuma, gadis itu sudah melenyap pergi. Hanya bau lavender saja yang menyergap udara. Meski pun bingung, aku menikmati keharuman baunya.
Aku tersentak dan terjaga. Oh... kenangan di jalanan muncul dalam lenaku. Rupa-rupanya, aku terlelap dan kini terbangun oleh keharuman bau lavender yang menyergap nafas. Tubuh pula terasa lenguh kerana aku tidur mengerekot di sofa.
"Kamu keletihan," kata gadis itu. "Aku sudah hampir sepuluh minit di sini."
"O ya?" Tanyaku bingung.
Aku bangun dan membetulkan tubuh: "Maaf ya... aku sendirian sejak jam 6 petang. Aku cuba melakukan sesuatu sambil menanti kamu. Malangnya, aku terlelap pula."
Setelah bangun dan menurunkan kaki dan bersandar pada sofa, gadis itu pun duduk bersebelahan. Malam itu, dia muncul dengan pakaian yang sama; mengenakan blaus dan jaket hitam. Cuma, bau lavendernya kali ini dahsyat sekali. Harumnya menikam jantungku.
"Aku hanya bebas selepas jam 12 malam," kata gadis itu.
"Aneh...," kataku: "Kamu bukan puntianak kan?"
Aku melihat senyumannya; dua bola mata bertukar redup dan hambar. Tanda soalanku telah mencerut hatinya.
"Boleh.... aku boleh berada di mana-mana pada bila-bila masa," jawabnya: "Cuma... aku lebih suka berjalan malam hari."
Aku mendesah sebentar: "Apa... ketika masih hidup dulu, kamu memang begini?"
Gadis itu berpaling dan kemudian berkata: "Bilik ini sunyi sekali. Tidak ada muzik malam ini?"
Aku terdiam dan segera tahu - persoalan muzik hanya satu tanda - dia enggan bercerita. Sama seperti ketika kutanyakan namanya. Atau, saat dia sengaja pura-pura tertawa saat kuajukan soalan mengenai punca kematian.
Aku bangun dan berjalan ke meja kerja; menekan butang laptop dan bergema lagu Nothing's Gonna Change My Love For You. Suara romantis George Benson menyanyikan lagu sentuhan komposer Gerry Goffin dan lirik indah Michael Masser.
Aku kembali duduk di sofa. Saat itu sekali lagi terseru oleh keharuman rambutnya. Sejenis rasa nyaman yang membuatkan diri terasa terbuai-buai dan terapung-apung.
"Kamu suka muzik?" Aku cuba memecahkan keheningan malam.
"Ya...," jawab gadis itu: "Aku suka lagu-lagu pilihanmu. Menghidupkan sunyi...."
Aku terdiam. Terasa betapa kata-kata itu terasa bagaikan satu isyarat aneh. Apakah ia akan diungkapkan gadis biasa?
Cuma, kerana aku tahu dia bukan manusia - aku bereaksi seadanya.
"Malam itu," kataku: "Mengapa menghilang begitu saja - ketika kita sedang berjalan berduaan?"
Gadis itu tersenyum: "Kerana dulu, ketika bercinta... kekasihku juga hanya menghantar aku pulang separuh jalan. Aku akan menghilang di selokan laluan. Jadi... aku mahu semuanya kekal begitu. Dihantar orang separuh jalan."
"Kenapa?" Tanyaku.
Gadis itu terdiam; membetulkan duduknya dengan mengiring dan mengadap padaku.
"Aku mahu semua kenangan kekal begitu," jawabnya: "Kerana itu saja kenangan indah yang kumiliki sebelum mati."
4
Sebelum ketemu gadis misteri - aku memang pernah punya kekasih. Selain sering kuajak keluar makan, kami selalu duduk-duduk menikmati malam yang indah di luar mall. Aku juga sentiasa menemaninya pulang. Cuma, dari mall kami berkereta.
"Aku harap satu hari, aku dapat menghantar kamu pulang dengan mengendongmu sepanjang jalan," kataku.
"Kita berkawan atau bercinta?" Tanya kekasihku.
Aku menjawab separuh melucu: "Apakah hanya setelah berkahwin baru aku diizinkan mengendongmu?"
Kami ketawa saat itu.
Jalan masuk ke rumahnya hanyalah sebatang lorong yang sempit. Bertar nipis dan diterangi sebatang tiang lampu. Suasana lewat malam sangat sunyi.
Jarak antara dua rumah agam yang bertembuk tinggi, membentuk lorong itu. Satu laluan pintas dari jalan utama. Sejak awal mengenalinya - dia minta aku menurunkannya di situ.
"Tak perlu pusing di sana dan masuk ke perumahan. Kenderaan diparkir di kiri-kanan dan laluan jalan sangat sempit. Itu akan menyusahkan kamu," katanya.
Selama dua tahun berkenalan dan setiap kali kami keluar menikmati makan malam atau menghirup udara nyaman - di laluan itulah, kuturunkan dia ketika pulang.
"Bye... nanti ketemu lagi ya," katanya.
Aku memerhatikan saja dia pergi; berjalan menelusuri laluan sebelum menghilang di selokan jalan. Setiap kali bayangan itu menghilang pergi, aku yakin dia sudah tiba di apartmentnya.
Cuma, sekali pun tubuhnya menghilang; dari dalam kereta, aku terus memerhatikan laluan itu. Seakan-akan dia masih ada di sana; melangkah perlahan-lahan. Aku masih membayangkan - melihat tubuhnya berblaus dan berjaket hitam.
Aku masih melihat seorang puteri yang cantik di bawah suram silau lampu yang kabur. Begitulah. Selama dua tahun, aku memerhatikan semua itu.
Hinggalah pada satu hari - ketika aku langsung tidak menerima panggilan atau pesanan mesej dari telefonnya - perasaanku tiba-tiba jadi rindu. Lewat petang, aku menghubunginya.
Seseorang telah menjawab; dan aku separuh pitam.
"Dia mati dibunuh malam tadi. Mayatnya ditemui orang selepas Subuh."
5
Kini, sudah bertahun-tahun malam Jumaat datang dan pergi; hingga lampu yang dulunya sangat terang di hujung pedestrian - kini mulai kabur dan malap. Tanda betapa lamanya waktu sudah berlalu.
Gadis itu masih terus muncul di pejabatku setiap malam Jumaat; kami berbual hingga jam 3 atau 4 pagi. Seterusnya - aku akan menuruni lif dan menemaninya berjalan di pedestrian. Seperti selalu - di jalanan, dia akan menghilang begitu saja.
Aku sebenarnya sangat mencuba dan sangat berusaha untuk menghantarnya ke mana saja tempat yang dituju. Tapi itu tidak pernah berlaku. Dia akan melenyap hilang begitu saja.
Setiap kali kehilangannya, hatiku menghiba - kerana teringatkan kekasihku yang sudah mati. Aku cuba melupakan kesilapan lalu; cuma ia tetap terjadi dan terjadi lagi. Kali ini - aku selalu kehilangan gadis misteri itu ketika berjalan beriringan di pedestrian.
"Aku tetap bersedih, walaupun dia bukan manusia," bisik hati kecilku.
Sebenarnya, aku ingin mengucapkan kata-kata cinta dan melamarnya. Melepaskan beban kesilapan masa lalu; sesuatu yang tidak pernah kuusahakan ketika bersama kekasihku.
Anehnya, aku tidak mungkin mengungkapkan itu semua. Gadis misteri itu bukan manusia.
Tiap kali ditinggalkan - aku menanggung beban kesepian dan kesendirian di pedestrian. Itu membuatkan aku rindu pada bau lavender. Bau yang mengingatkan aku: Betapa terlewatnya waktu. Betapa aku tidak memiliki apa-apa lagi untuk dicintai.
top of page
Search
bottom of page
Comentários