Sebetulnya, aku baru sahaja mengenali Kartini. Terasa malu di jiwa, hampir suku abad baru mengenali sosok ini. Masih lagi sedang membaca Habis Gelap terbitlah Terang, masih lagi belum membaca Panggil Aku Kartini Saja dan banyak lagi karya-karya beliau atau tentang beliau. Maka, dengan menulis artikel ini aku berharap rasa berdosa ini bakal hilang di akhir titik penulisan ini.
MENGENALI KARTINI
Nah, pertama-tama sekali, eloklah jika kita memperkenalkan dahulu sosok Kartini ini. Satu sosok yang riwayat hidupnya pendek, kematiannya tiba setelah empat hari melahirkan anak lelakinya. Tetapi dari catatan surat-menyurat beliau sosok ini tidak pernah mati. Malah lebih hidup dari kita semua. Ideanya telah menunjukkan kesungguhan intelektual, kefahaman budaya, dan kedalaman komitmen moral-etika serta kepekaaan beliau terhadap jalan sejarah dan nasib rakyat terbanyak. Kartini memperlihatkan cakerawala pemikiran dan moral yang membuana tapi membumi, mengkritik tapi mengusul, menyeru tapi tidak melulu, mengugah tetapi tidak melatah.
Ada yang mengatakan bahawa apa yang dilakukan Kartini adalah kerana beliau sendiri lahir dari golongan yang kaya, golongan Bupati, privileged dan sebagainya, namun bagi beliau keistimewaan darjat itu dilihat sebagai “pertanggungjawaban golongan bangsawan.”
Kata Kartini “Bagi saya hanya dua macam bangsawan: bangsawan pikiran dan bangsawan budi. Tiada yang lebih gila dan bodoh dalam pandangan saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunanya.”
Ketahuilah, bangsawan di jawa dahulu hanya mendahulukan kepentingan mereka sendiri (malah sehingga kini semua bangsawan seperti ini). Mahu tidak mahu, satu sahaja caranya adalah dengan melawan. Dengan semangatnya yang tidak pernah gentar, beliau melawan norma-norma hidup secara bangsawan terutamanya perempuan dan juga melawan tradisi kepercayaan yang tidak membawa untung pada bangsa dan rakyat.
KARTINI DALAM MEMBICARAKAN PERANAN DAN HAK PEREMPUAN
Dalam banyak-banyak perjuangan yang diperjuangkan oleh Kartini, yang paling jelas sekali adalah perjuangannya pada nasib perempuan. Pertama sekali beliau mengkritik dengan keras tradisi yang mengongkong perempuan yang menghalang pergerakan dan kebebasan perempuan. Perkara ini bermula apabila beliau sendiri dipinggit (Dikurung) selama empat tahun, dan sambung lagi dua tahun selepas itu untuk menyediakan beliau menjadi seorang Raden. Pada waktu itu, anak perempuan tidak boleh keluar rumah, tidak boleh bersuara, malah harus merangkak dan membongkok dihadapan yang lebih tua dan berpangkat. Hidup anak perempuan adalah untuk membesar dan bernikah. Tidak cukup dengan itu, mereka harus bersedia untuk menerima suami mereka berpoligami.
Bagi beliau, tidak cukup dengan hanya dihormati tetapi harus mengiktiraf hak perempuan. Harus diberikan mereka ruang untuk menjadi mandiri tidak kira dari segi ekonomi, pendidikan atau pekerjaan. Beliau berkeyakinan bahawa penyertaan perempuan dalam proses pembangunan adalah penting dan tidak boleh diambil ringan.
Katanya;
“Dari masa ke masa menjadi semakin jelas bahwa kemajuan para perempuan merupakan faktor yang penting untuk membudayakan bangsa itu. Kecerdasan penduduk bumiputra tidak akan terjadi secara cepat bila perempuan ketinggalan dalam bidang itu -- perempuan adalah pendukung peradaban”
“Dengan sepenuh hati saya benarkan bahwa perempuan menjadi soko guru peradaban! Bukan karena perempuan yang dipandang cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri sungguh yakin bahwa perempuan dapat menimbulkan pengaruh dan akibat yang besar dalam hal membaikkan maupun memburukkan kehidupan. Perempuanlah yang paling banyak dapat membantu memajukan kesusilaan manusia.”
Kartini bertanyakan: “Siapakah yang dapat lebih banyak berusaha memajukan kecerdasan budi? Siapa yang dapat membantu menpertinggi darjat budi manusia?” Dijawab beliau sendiri: “Ialah perempuan, ibu, karena pada ribaan ibulah manusia mendapat didikan yang mula-mula sekali, oleh kerana disanalah pangkal anak belajar merasa, berpikir, berkata.”
KARTINI DALAM MEMPERJUANGKAN PENDIDIKAN
Kartini merupakan cucu kepada Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak, yang terkenal suka akan kemajuan. Beliau merupakan Bupati pertama yang mendidik anak-anak, lelaki dan perempuan. Jadi jelas semangat yang ada di sekeliling Kartini lahir dari keluarganya. Namun, didikan untuk anak perempuan masih sedikit dibandingkan dengan lelaki yang boleh memilih apa sahaja.
Makanya, Kartini sedar akan kepentingan pendidikan. Pendidikan yang mengeluarkan diri daripada kemunduran, pendidikan dapat membekali seseorang itu ilmu dan kepandaian yang berguna untuk kehidupan. Beliau pernah menyuarakan supaya pemerintah Belanda menyediakan pendidikan kepada bangsa Jawa kerana itu adalah hak mereka:
“Orang Jawa hendaknya diberi bacaan yang ditulis dalam bahasa populer dan dapat dipahami setiap orang. Bukan khotbah juga bukan ucapan sehari-hari yang semberono dan kurang berisi, melainkan cerita yang disajikan dengan sederhana, segar dan memikat hati. Karangan mengenai sebahagian dari kehidupan yang nyata, dari zaman sekarang, zaman lampau, juga dari dunia angan-angan, dan hendaknya terus menerus diingat. Harus selalu ada dasar tata susila, dasar mendidik!”
Namun disaat Kartini menyeru supaya rakyat Jawa diberikan pendidikan umum, Kartini berpendapat bahawa golongan atasan Jawa harus dulu menerima pendidikan agar mereka kelak menjadi contoh dan penggerak perubahan dalam masyarakat:
“Mendidik seluruh bangsa sekaligus tentu tidak mungkin. Yang harus kita lakukan ialah mendidik lapisan-lapisan yang paling atas, sehingga mereka menjadi rahmat bagi lapisan bawah!
KARTINI DAN KITA
Membicarakan tentang Kartini bukan untuk menjadikannya satu sosok yang harus diangkat dan dijulang. Sebaliknya, semangatnya dan perjuanganya yang harus diambil, diangkat dan diteruskan. Umumnya, jika melihat realiti kini, kebanyakan masalah yang diperjuangan pada akhir abad ke-19 masih lagi menjadi masalah sehingga kini abad ke-21. Nusantara ini masih lagi banyak menidakkan hak wanita, masih lagi tidak ada pendidikan untuk semua, dan paling jelas, masih lagi banyak bangsawan yang lena di atas dan mementingkan diri mereka sendiri.
Jika Kartini yang hidup dalam suasana yang terpisah dari rakyat juga mampu memperlihatkan keprihatinan nasib rakyat terbanyak, justeru, kita juga boleh menjadi prihatin disaat kita sendiri berdiri bersama rakyat terbanyak ini. Disaat orang atasan tidak terdidik, jangan pula yang bawahan senyap dan membelenggukan diri mereka. Ketahuilah, tinggi lagi maruah rakyat bawahan yang berbudi (akal) daripada bangsawan yang senyap.
Selamat Hari Kartini. Kita Semua Kartini.
Kommentare