(Certot respon kepada cerpen Mas Mantri Menjenguk Tuhan) Ketika Mahathir berjuang melawan kelaparan, seseorang menjerit di telinga saya - jangan bermimpi di siang hari! Dengan nafas termengap-mengap, saya terjaga dari tidur yang panjang. Saya berpeluh lebat. Apa ini, takdir Tuhankah? Bergegaslah saya melompat dari katil, lari mendapatkan Mas Mantri. Orang-orang melolong Mas Mantri telah hilang. Tapi sebenarnya saya tahu Mas Mantri pergi menjenguk Tuhan, ah bukan di masjid, tapi di rumah Nek Trimo. Den Besus dari jauh sudah berteriak sambil jalan terhenjut-henjut,‘’Hablum minaAllah wa hablum minnas! Utamakan hak Allah dulu, baru manusia!’’ Saya menoleh ke arah Mas Mantri, Mas Mantri pun menoleh ke arah saya. Tidak adil dalam berfikir bukankah juga sebuah dosa? Nek Trimo yang masih batuk-batuk itu lantas diurut-urut Mas Mantri, saya yang tiba-tiba wujud di dalam cerpen Ahmad Tohari ini pula menggaru-garukan kepala Mas Mantri yang tidak gatal. Den Besus sampai di muka pintu dengan termengah-mengah. Berteriak yang lain pula dia, ‘’Saya maafkan Mahathir! Maafkan demi kemanusiaan!’’ Ah sudah, apakah kehidupan ini benar-benar tidak bererti seperti yang dicurhat Leo Tolstoy? Saya terus sugul. Bersusah payahlah Ahmad Tohari mengangkat ibadah maknawi dan kepedulian sosial di dalam karya, tiba-tiba pejuang kemanusiaan suruh maafkan Mahathir? Ha ha ha ! ! ! Nek Trimo terbahak-bahak ketawa. ---- Menyedari tajuk tulisan ini sendiri adalah sebuah delusi, akhirnya Ahmad Tohari terjun ke dalam cerpennya - memantakkan kepala Den Besus dengan tukul.
top of page
bottom of page
Comments